Batman Ka Sarung


Kisah ini bermula ketika musim mudik kemarin. Petang itu saya sebenarnya hanya berniat mengajak Dzulfiqar, anak saya jalan-jalan. Tapi entah dapat ide dari mana, saya tiba-tiba membelokkan motor ke McD. Kebetulan ada McD dekat rumah saya, restoran cepat saji tersebut membuka cabang di kawasan perumahan yang berbatasan dengan kampung saya di Sidoarjo sana. Ya, udah mumpung dekat saya ajak Dzulfiqar ke McD dan beli salah satu paketnya yang berhadiah mainan. Dan seperti déjà vu, kejadian itu terulang kembali. Kebetulan saya dengan santainya masuk resto tersebut hanya berbalut sarung, pakai sweater santai, dan beralas sandal jepit. Sejak pintu masuk saya merasa diperhatikan oleh para pengunjung. Bukannya ge-er, saya justru merasakan (menurut istilah kekinian) persekusi secara halus. Tapi saya pede saja, di depan kasir sengaja saya keluarin dompet yang kebetulan menebal dan dipenuhi lembaran berwarna merah. Dalam hati saya ngomong, “kalau ada yang nyinyir, saya bayarin semuanya..”. Hehehe..saya gak sombong tapi ujub.

Dahulu, dahulu sekali ketika masih ndableg, saya juga pernah mengalami hal yang sama. Kebetulan saya nonton bioskop di mall dengan berbalut sarung. Sambil menunggu panggilan masuk studio, saya nongkrong di lobi. Sepanjang proses tunggu, puluhan pasang mata memandang saya dengan ekspresi aneh. Pandangan itu seakan-akan berbunyi “nonton bioskop kok pakai sarung..”. Tapi saya cuek, karena pakai sarung di bioskop ternyata enak banget. Sampai di dalam, sarung saya urai dan kekepin ke badan seperti para peronda. Penonton lain pada bawa cola ama jagung brondong, saya malah bawa kopi, nasi uduk, ama bakwan jagung. Ini bioskop apa poskamling?

Apa salah sarung? Mengapa sarung dipersekusi sebagaimana sandal jepit dan musik dangdut? Mengapa orang boleh pakai celana pendek, bahkan celana gemes (celana pendek yang pendek buanget) ke bioskop, sampai-sampai teman saya pernah berkomentar “apa gak takut masuk angin ya”, tapi memakai sarung tidak boleh? Padahal sarung adalah pakaian praktis yang disukai banyak kalangan, mulai tua hingga muda, pria maupun wanita, baik yang berstatus jomblo, pengantin baru, ataupun mereka yang baru berperkara di Pengadilan Agama. Sarung adalah pelindung dari dinginnya cuaca, serangan nyamuk demam berdarah maupun malaria, hingga pengaman pertama dari serangan macan Sumatera hingga singa Afrika (lebay binggittt…).

Di sisi lain sebagaimana yang disampaikan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, bahwa kepribadian manusia tidak ada hubungannya dengan corak dan model pakaian, tidak ada sama sekali. Kepribadian adalah gabungan pola pikir dan pola sikap sikap manusia terkait cara memenuhi kebutuhan hidupnya dan memuaskan nalurinya. Dari sinilah lahir kebiasaan-kebiasaan yang sebagaimana potongan puzzle membentuk kepribadian. Bahasa gampangnya, segala tingkah laku, metode memecahkan masalah, hingga bagaimana manusia bersikap terhadap segala sesuatu sangat dipengaruhi oleh persepsinya yang membentuk pola pikir dan pola sikapnya. Maka seorang muslim yang memiliki pemahaman terkait aurat akan memakai pakaian apapun asalkan menutup auratnya dan berbeda dengan orang kafir yang berpakaian secara sembarangan karena tidak memiliki pemahaman terkait aurat. Juga seorang muslim yang memiliki pemahaman terkait interaksi antara pria dan wanita tentu akan menjaga pergaulannya agar tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt dan tentu berbeda dengan mereka yang tidak memahami rambu-rambu interaksi antara pria dan wanita. Makanya saya santai saja bersarung ria, karena saya tidak merasa melanggar aturan terkait aurat laki-laki. Sarung saya tidak berada di atas lutut, membentuk lekuk tubuh dan menerawang (emang saya Inem pelayan seksi..), maka saya percaya diri memakai sarung. Sarungnya juga bukan dari hasil mencuri, korupsi apalagi ngepet, jadi sah-sah saja saya bersarung. Bukannya saya tidak tahu diri, tentu tidak selamanya saya bersarung. Ada momen-momen tertentu yang mungkin mengharuskan saya berpakaian rapi (pas akad nikah atau ngisi training) atau berpakaian menyesuaikan kondisi (pas hiking atau ketika main futsal), lha pas nyantai sebagaimana dua momen di atas mengapa saya dilarang bersarung?

Jangan-jangan pandangan negatif kita terhadap sarung secara tidak langsung karena kita dipengaruhi pandangan Kapitalisme-Sekuler, lho kok bisa? Bisa aja. Mengapa ketika ada seseorang bersarung masuk resto cepat saji kita nyinyir? Mengapa ketika di bioskop atau di mall ketika bertemu pria bersarung, pandangan kita kayak gimana gitu? Jangan-jangan karena kita menganggap bahwa mall, bioskop jaringan 21, resto makanan siap saji, bahkan gedung-gedung pencakar langit adalah lambang kegagahan Kapitalisme, lambang supremasi peradaban Barat. Sedangkan sarung adalah lambang pribumi, lambang ke-ndeso-an yang tidak layak berada di tempat-tempat tersebut. Ini kapitalisme bung!  ini peradaban Barat cak! maka mohon maaf, anda harus menjaga diri, jangan tampil sembarangan, jangan berpakaian sembarangan. Sama ketika sepupu saya yang ngatain saya ndeso hanya karena memakan pizza langsung dengan tangan sedangkan ia menggunakan garpu dan pisau. Saya hanya nyengir sambil balas bahwa orang Italia akan mengatakan “Katrokko..Kamvretto..Gobloko..Ndeso..” padanya karena di Italia, negara asal pizza gak ada yang makan pizza menggunakan garpu dan pisau.

Selain itu sarung adalah identik dengan pakaian santri dan santri identik dengan Islam, maka bisa disimpulkan sarung adalah ciri khas pakaian Islam. Bisa saja ada komen, “gak pantes ah, masak santri jalan-jalan ke mall.”, terlihat baik dan bijak, tapi pernyataan ini mengandung racun. Karena secara tidak langsung kita menolak kehadiran Islam. Jika pakaian yang identik dengan Islam saja kita tolak kehadirannya di ruang publik, karena dalam persepsi kita pakaian tersebut hanya cocok digunakan di masjid, mushola, majelis ta’lim, madrasah atau pesantren saja, jangan-jangan di benak kita Islam juga hanya cukup hadir di tempat-tempat tadi. Jika kita curiga pada sarung ketika ia hadir di ruang publik, jangan-jangan pikiran kita juga dipenuhi syak wasangka atas kehadiran Islam di tempat-tempat umum. Jika kita mengasihani kehadiran sosok bersarung di luar publik karena ketidakpantasannya, jangan-jangan kita secara tidak langsung memberikan nasihat agar Islam jangan tampil di ruang-ruang publik, Islam jangan ikut ngatur-ngatur aturan di luar masjid, mushola, majelis ta’lim, madrasah, dan pesantren. Jika kita kaget ketika berjumpa dengan sosok bersarung di mall, jangan-jangan kita langsung jantungen ketika mendengar bahwa Islam memiliki model berkesenian, metode pendidikan, aturan perang, tata kelola ekonomi, hingga konsep kenegaraan.

Maka bila hari ini kita bercermin, kita bisa melihat bahwa tidak perlu ikut program cuci otak hingga jauh-jauh ke Amerika seperti para dedengkot JIL atau jadi anggota partai besutan Kim Jong-Un, karena ternyata dalam diri kita ada sedikit “perlawanan” terhadap Islam. Kita mengalami split personality, gegar budaya, kepribadian ganda atau apapun namanya menurut psikolog dan dokter jiwa, karena KTP kita mencantumkan identitas Islam tapi kita tidak pede dan agak menjauh dengan Islam. Betul kata kyai mbeling Emha Ainun Nadjib, bahwa Islam justru dikecilkan, dikerdilkan, dibonsai oleh kaum muslimin sendiri. Maka kita harus melakukan taubatan nasukha, mohon ampun kepada yang Sang Empunya Semesta, yang menciptakan kita sebagai manusia yang ditugasi untuk mengelola bumi dengan aturan yang bernama Islam. Jika kita berharap anak-anak kita, murid-murid kita, istri dan diri kita sendiri menjadi sosok individu yang sholih dan sholihah, jika kita sering berdoa agar keluarga menjadi sakinah mawaddah wa rahmah, tidak inginkah kita akan negeri yang baldatun wa robbun ghofur serta rahmatan lil alamin untuk seluruh alam? Maka hadirkan kembali Islam dalam diri kita dan sebarkan ke seluruh penjuru semesta.


Tinggalkan komentar