Cendekiawan Tjap Semar


Jagat sosial media heboh, karena munculnya tulisan-tulisan nan lugas lagi pedas menelanjangi kebobrokan penguasa Republik Ngastina. Tulisan-tulisan yang menisbatkan dirinya sebagai hasil karya seseorang berngaran Nasrudin Joha. Nasrudin Joha atau akrab disebut NasJo sendiri adalah sosok anonym yang tak jelas identitasnya. Tak pelak mulai dari komandan intelejen, media massa, hingga ngulama’ pro penguasa ingin mengungkap siapa sesungguhnya NasJo. NasJo sendiri mengambil nama dari tokoh satir dalam sejarah peradaban Islam yang bernama Nasrudin Hoja. Tokoh ini dalam sejarah mungkin selevel dengan Abu Nawas dan Dzun Nun al-Mishry, yaitu sosok cerdik yang mengidentikkan diri sebagai rakyat jelata namun berani menyindir dan menasehati penguasa dengan nasehat-nasehat satir nan cerdas. Nasrudin Hoja konon hidup di kawasan Turki, pusat kedaulatan Utsmany, sedangkan Abu Nawas konon mengambil latar era keemasan Baghdad dan Dzun Nun muncul dengan latar Mesir.

Menyelami ketiga sosok tersebut, kita akan memahami sebuah perlambang sosok cendekiawan ideal dalam pandangan Islam. Cendekiawan tersebut bukan hanya sosok nan diam bergelut dengan buku dan kitab, namun hidup dan menjadi bagian masyarakat. Ia menyelami perasaan umat. Namun lebih dari itu, ia berani menyampaikan amar ma’ruf nahy munkar di hadapan penguasa. Ilmunya menjadikan fasih lidahnya dan kukuh hatinya untuk berani menyampaikan kebenaran di depan penguasa. Dan kecerdikannya menjadikan ia sosok yang disayangi baik rakyat maupun penguasa. Dalam dunia nyata, sosok seperti ini sebenarnya cukup banyak. Cukuplah kita menyebut sosok Hasan Al-Bashry yang berani bersilat lidah dengan Al Hajjaj bin Yusuf, gubernur lalim di era Umayyah. Juga Idris As-Syafi’I yang mampu menghindari bahaya fitnah mu’tazilah di Baghdad. Tak lupa hujjatul Islam Abdul Hamid Al-Ghazaly yang mampu melahirkan generasi Shalahuddin Al-Ayyubi.

Nantinya ketika Islam merambah Nusantara khususnya Jawa, konsep ini bertemu dengan konsep cendekiawan dalam dunia spiritual Hindu-Budha. Wayang yang menjadi media pendidik dalam masyarakat Jawa kala itu memiliki gambaran sosok cendekiawan dalam sosok para pandhita, resi, begawan, hingga bhatara. Sosok-sosok pertapa agung yang menyepi di puncak-puncak gunung, menguasai ilmu adiluhung, dan guru utama para ksatria. Sosok yang muncul dalam Ramayana dan Mahabharata ini telah mapan hingga datangnya Islam. Sunan Kalijaga yang menggunakan wayang sebagai media dakwah menciptakan lakon-lakon carangan yang tidak berpijak pada naskah asli Ramayana dan Mahabharata. Lakon-lakon inilah yang pada akhirnya mengubah dan mempengaruhi pola pikir masyarakat Jawa, termasuk konsep cendekiawan.

Lakon Begawan Mintaraga misalnya memunculkan konsep cendekiawan muda dimana sosok Arjuna yang digambarkan sedang bertapa demi kemenangan saudaranya dalam perang Bharatayuda. Ini menjadi gambaran sosok pemuda yang tidak hanya an sich bergelut dalam pencarian ilmu tapi juga melakukan laku spiritual. Lebih dari itu dia harus tetap peka pada keadaan di sekelilingnya dan segera tanggap ing sasmita ketika menyaksikan kedzaliman. Sebuah lakon yang abadi dan layak dipahami para mahasiswa yang sering mengklaim sebagai sosok cendekiawan muda.

Konsep berikutnya yang merupakan hasil pengembangan wayang oleh Sunan Kalijaga adalah sosok para punakawan. Punakawan yang terdiri dari Semar dan putranya;Gareng, Petruk, dan Bagong merupakan sintesis dari sosok Nasrudin Hoja, Abu Nawas, dan Dzun-Nun di Nusantara. Mereka adalah rakyat biasa dan konon jabatan tertinggi yang melekat pada diri mereka adalah lurah (pemimpin desa), namun mereka kerap menjadi pendamping, penasehat, dan bahkan beberapa kali menjadi penolong para ksatria Pandawa. Secera fisik mereka tidak gaga, tapi konon dalam wayang kecerdikan mereka serta kesaktiannya membuat bahkan para dewa, siluman, buto, bahkan manusia setengah dewa macam Krisna dan Arjuna bertekuk lutut dan hormat kepada mereka.

Sunan Kalijaga mungkin memunculkan para punakawan sebagai sosok pemimpin umat yang sejati. Mereka adalah para cendekiawan yang berada di tengah-tengah umat, mendidik umat, dan hidupnya dicurahkan demi kemaslahatan umat. Mereka tak silau akan jabatan dan bukan untuk itu ia bertugas, maka pantas ia lugas dan ikhlas dalam menasehati para penguasa. Ketika penguasa melenceng maka ia tak segan untuk meluruskan. Dan ia sakti mandraguna, karena ia adalah pemimpin umat yang sejati. Maka segala gerak laku umat, sebenarnya ia adalah konduktornya.

Maka bila hari ini bermunculan tagar “Kami adalah Nasrudin Joha”, maka kita buktikan apakah benar kita adalah Cendekiawan Tjap Semar.

 


Tinggalkan komentar