Creative Conspiracy


Seseorang dianggap jenius ketika ia bisa menyampaikan ide besar dalam kata-kata sederhana. – katenye itu quotes dari Albert Einsten

Saya di bulan September ini, ketika dalam masa pagebluk masih mengancam dan sekolah masih dilaksanakan dari rumah, entah tiba-tiba ingin menengok beberapa kenangan masa lalu. Salah satunya Openmind. Saya menyelami majalah mungil tersebut karena ingin merasakan kembali spirit menulis saya yang akhir-akhir ini saya anggap tumpul. Openmind itu majalah indie paling kreatif dan saya tersentak ketika membaca artikel di salah satu edisi ultahnya, ternyata bulan lahirnya barengan ama saya. Openmind tidak panjang umur, ia hanya hadir kurang lebih tiga tahunan. Saya terbayang manusia-manusia di balik penerbitannya;para awak redaksinya, penulisnya, distronya, hingga pembaca setianya. Hari ini mereka mungkin masih beredar di muka bumi ini. Mereka mungkin masih mengenang Openmind, meski telah bersalin profesi atau hingga idealisme, wallahu’alam. Openmind menghilang bagi saya bukan karena tidak bisa melawan perkembangan zaman. Mungkin (mungkin lho ya??) ia adalah sebentuk ide yang sekonyong-konyong hadir kemudian mewarnai lalu menghilang dan menghantui setelah menginspirasi banyak orang untuk berbuat hal serupa. Inilah yang dulu banyak dilakukan oleh para ulama di masa kejayaan Islam; mereka telah jauh meninggalkan kita namun ide-idenya masih lindap untuk dikaji merentang zaman.

Setelah menyimak Openmind, entah kenapa saya iseng ingin menengok blog pribadi saya yang telah lama hiatus. Blog telah lama ditinggalkan dengan semakin maju pesatnya medsos. Namun bagi saya pribadi, saya meninggalkan karena merasa sudah cukup media ini melatih saya menulis. Ini adalah media pertama yang saya gunakan untuk melatih menulis dan keistiqomahannya. Satu-satunya media yang mau menampung ide-ide saya ketika tulisan saya mentok diterima sampai meja redaksi, tak pernah muncul di ruang baca para pembaca semua. Seiring berjalannya waktu, tulisan-tulisan saya mulai mendewasa dan keluar dari sarangnya. Cita-cita saya ketika menulis (sebuah habit yang saya anggap terlambat datang) adalah sederhana, yaitu agar tulisan-tulisan saya maksimal muncul di rubrik opini media-media major. Namun, rupanya takdir justru membuat saya melatih keterampilan menulis sampai pada level “gila”. Kegagalan telah membuat saya melatih keterampilan menulis tidak hanya sampai pada level “opini” tapi juga menulis aneka rupa, aneka warna yang terkadang membuat saya bingung menjelaskannya pada khalayak yang mengundang saya pada acara training kepenulisan (hehehe). Sebuah keterampilan yang sebenarnya hadir ketika kita gagal, namun tetap sabar dan istiqomah. Dan saya menerima hadiahnya satu persatu, secara sangat mengejutkan. Bulan ini tulisan saya hadir di sebuah majalah yang dulu saya cita-citakan untuk menghadirkan tulisan di majalah tersebut, bukan di rubrik opini pembaca tapi di salah satu rubrik utama yang membahas tentang Sosio-Politik, sebuah rubrik favorit saya namun dulu tak sedetikpun saya berani bermimpi memajang tulisan di situ.

Akhirnya, sebenarnya di tengah kekalutan yang mendunia ini, yakinlah bahwa ada Konspirasi Kreatif yang sedang mengamati kita. Apapun cita-cita kita juga usaha kita sebenarnya tak luput dari pengamatan sang pembuat konspirasi tersebut. Terkadang hidup kita dibuat linier, namun terkadang dan banyak terjadi, kita dbuat untuk berputar-putar, merasakan segala bentuk kehidupan, membuat kita lebih dewasa dan tiba-tiba sekonyong-konyong cita-cita kecil di masa lalu, dihadirkan di depan mata dengan kategori PERFECTO. Siapa pembuat konspirasi kreatif tersebut? siapa lagi kalau bukan DIA SANG PENGGENGGAM HIDUP DAN ALAM SEMESTA.


Tinggalkan komentar