September (Yang Tak) Ceria


Akhirnya September datang, seorang penulis pernah bercerita bahwa bulan-bulan yang diakhiri dengan -ber adalah bulan dimana hujan datang menyambangi bumi dan September adalah sang pelopor, dimana di bulan ini hujan untuk pertama kali menyambangi, datang dengan malu-malu, tidak percaya diri, namun sangat dinanti. Maka bulan ini identik dengan cinta dan orang banyak menikah di bulan ini, maka tak salah pabila Vina Panduwinata menyanyikan lagu berjudul “September Ceria” dan secara kebetulan saya lahir di bulan ini.

Namun September ada kalanya tidak selalu menampilkan keceriaan. Selama 30 tahun, terkadang saya temukan lesatan-lesatan peristiwa di bulan September yang justru melahirkan lara dan duka. September ini misalnya kita disuguhi Genosida Rohingya. Sengaja saya tulis Genosida, karena peristiwa yang bisa kita tarik rentangannya hingga dekade 70-an ini tidak sekedar pengusiran atau pembunuhan, tapi pemusnahan etnis, sebagaimana yang terjadi di Rwanda, Bosnia, Armenia di masa akhir Utsmani, hingga pemusnahan bangsa Indian di Amerika dan Aborigin di Australia. Etnis Rohingya yang beragama Islam dan mendiami semenanjung Arakan sejak beberapa abad silam (hingga lahir kesultanan) tidak diakui secara undang-undang, tidak boleh memiliki properti, dihambat pertumbuhannya, dimasukkan dalam kamp-kamp sebagaimana Yahudi di era NAZI, dan dimusnahkan secara brutal. Dan dunia tidak hanya sekedar diam dan menutup mata, dunia dengan tega dan bengis membela genosida tersebut karena korbanya muslim. Dunia hari ini membuka mata kita sebagai seorang muslim, bahwa apabila korbannya muslim maka tidak perlu dibela, disyukuri, dan apabila ada yang membela maka ia harus dikriminalisasi. Dunia hari ini sangat ngguateli (istilah Semarangannya), sangat juancuk’i (gaya Suroboyo), atau malah sangat mbokne ancuk ketika berkaitan dengan Islam dan kaum muslimin. Tidak jauh-jauh lihatlah dunia sepakbola, kalau korbannya orang Barat meski hanya beset (lecet) sedikit hebohnya naudzubillah, pakai pray-pray-an, dan sebelum pertandingan wajib mengheningkan cipta dan bikin koreo duka. Tapi ketika Viking membuat koreo “Save Rohingya”, The Jack bikin “Save Gaza”, Bonek, Laskar Sakerah, hingga supporter Glasgow Celtic membentangkan bendera Palestina maka itu terlarang, didenda, dan dihukum, wes pokok’e koyok tuaek kalau berkaitan dengan Islam dan kaum muslimin.

Dan kebijakan seperti ini tidak lahir satu, dua hari tapi dipupuk sejak lama. Merentang dari puluhan tahun silam. Ingatkah kita pada tanggal 9 September ada peristiwa apa? Tapi sebelumnya kita juga masih mengingat bahwa tanggal 30 September juga ada peristiwa kelam. Ya, 30 September 1965, dengan gamblang Salim Said dalam bukunya menjelaskan fakta-fakta peristiwa yang hingga hari ini menjadi garis hitam sejarah Indonesia. Petinggi Angkatan Darat diculik dan dibunuh, pelakunya dan sekaligus perancangnya diketahui adalah Partai Komunis Indonesia. Tujuannya untuk menyelamatkan pemerintahan Bung Karno dari rongrongan kekuatan Kapitalisme serta sebagai awal revolusi kiri seba’da pemerintahan Soekarno. Maka penculikan tersebut nyatanya gagal (dan dibikin gagal), karena tentara dan rakyat Indonesia memukul balik, PKI dan Bung Karno kemudian terjungkal, dan lahirlah Orde Baru yang berkuasa selama 35 tahun. Hingga kemudian hari, peristiwa ini ternyata melibatkan tangan-tangan yang tak terlihat, yaitu kekuatan-kekuatan dunia yang ingin menggenggam Indonesia. Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dengan gamblang menyatakan dalam Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir bahwa tujuan utama Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan Inggris waktu itu adalah mengosongkan kekuasaan di Indonesia dan menguasai negeri tersebut secara penuh. Indonesia memang tidak lagi mampu untuk diinvasi secara militer, maka harus dibuat makar agar Indonesia yang kaya sumber daya alam dapat jatuh ke tangan mereka tanpa harus menembakkan satu peluru pun. Meskipun Amerika, Sovyet, dan Inggris saling bersaing dan berselisih paham akan banyak hal, mereka sepakat dan berlomba-lomba untuk menggarap Indonesia. Akhirnya Amerika Serikat mendapatkan Indonesia secara penuh, Inggris aman di Malaysia, Brunei, dan Singapura, sedangkan kedudukan Uni Sovyet paska tumbangnya komunis di negeri terbesar di Asia Tenggara tersebut justru aman dan menjadi penyeimbang antara Amerika dan Inggris.

Peristiwa 30 September 1965 ini juga menjadi awal bagi kemenangan Amerika atas Uni Sovyet dalam perang dingin yang terjadi paska Perang Dunia II. Uni Sovyet pecah kongsi dengan sekutu-sekutu komunisnya, pecah kongsi dengan China, Korea Utara, juga dengan Kuba dan sekutunya di tanah Amerika. Sovyet juga mendapat perlawanan keras di Yugoslavia, Bulgaria, Polandia, juga Jerman Timur. Revolusi Komunis juga gagal di Indonesia, pemerintahan komunis lenyap di Vietnam, Kamboja, dan Laos. Dan yang lebih tragis adalah ketika Sovyet gagal menginvasi Afghanistan. Komunis semakin tidak diminati di dunia dan dengan mudah Amerika memukulnya secara TKO. Ba’da terpukulnya Uni Sovyet, Amerika melenggang menguasai dunia tanpa lawan. Tanpa lawan? Ya, karena Eropa sudah ada di tangannya. Tanpa lawan? Ya, karena tidak ada kekuatan yang signifikan yang bisa melawan Amerika dan kalaupun ada hanya sekedar saingan bisnis seperti Jepang, Korea Selatan, dan China hari ini. Tanpa lawan? ada sich, tapi masih dalam tahap analisis. Adalah Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa lawan tangguh yang akan dihadapi Amerika di masa depan adalah Islam.

Bagaimana ceritanya, lha wong institusi pemerintahan Islam sudah tumbang sejak 3 Maret 1924? Lagian bangsa muslim telah terpecah menjadi 50 negara bangsa yang statusnya gak berpengaruh, sekedar jadi tambal butuh, gampang diadu, ditipu, dirampok, pokoknya gurem sekali statusnya. Kaum muslimin yang terserak dari Maroko hingga Indonesia pokoknya layak dapat gelar “Debuludin” alias debunya agama, karena mereka banyak tapi hanya sekedar debu. Namun paska dekade 60-an dunia mulai bergerak ke kanan, Islam. Populasi muslim merangkak naik di Amerika dan Eropa dan mulai memasuki ranah-ranah strategis. Di negeri-negeri muslim, semangat kembali ke Islam bersemi bak jamur di awal musim hujan. Jihad berkumandang selama invasi Uni Sovyet ke Afghanistan dan tak dinyana menarik minat ribuan pemuda Islam di seluruh dunia, FIS yang mengusung penerapan syariat Islam tiba-tiba menang pada pemilu di Aljazair, di Palestina muncul HAMAS dengan semboyannya, “puluhan tahun kami menggunakan nasionalisme dan sosialisme untuk membebaskan Palestina tapi wilayah Israel semakin luas, beberapa tahun kami memilih Islam dan menggemakan jihad fie sabilillah, hasilnya Israel hengkang dari Jalur Gaza.”. Semangat Islam tersebut terus diamati oleh penguasa-penguasa Barat. Mereka terus mengawasi dan merancang agar kebangkitan Islam berhenti dan peradaban Barat benar-benar sebagai “End of Civillization”.

Dan 9 September 2001, gedung kembar WTC di New York diserang. Peristiwa ini adalah garis yang menjadi batas hubungan antara Barat dengan Islam. Inilah benturan terkeras antara peradaban Barat Kapitalis dengan “embrio” peradaban Islam. Setelah peristiwa, Islam dan kaum muslimin selalu menjadi pihak yang harus disudutkan dan disalahkan. Apakah ini berarti bahwa peradaban Islam akan gagal lahir? Tidak, ia hanya sejenak memelankan jalannya. Hari ini kita bisa melihat, mendengar dan merasakan bahwa benturan peradaban itu semakin keras dan brutal. Apabila dahulu kita hanya merasakan dalam bentuk perang pemikiran, maka hari ini perang itu tidak hanya sekedar adu argumen, namun mulai dengan pentungan dan peluru. Mulai dari perang saudara di Syria, genosida Rohingya, hingga aksi fenomenal 2 Desember 2016 dan terbitnya Perppu no. 02/2017, perang rupanya telah memasuki rumah kita. Siapapun kita selama di KTP masih tercantum beragama Islam, maka Barat akan membidik kita. Benar kata Habib Rizieq Shihab puluhan tahun silam dalam wawancaranya dengan wartawan majalah Hidayatullah, “mungkin hari ini Barat membidik kaum muslimin yang terkategori militan, namun selama identitas anda muslim, tak peduli anda sekuler atau liberal, Barat tetap akan memukul anda.”.

Dan mereka berupaya memadamkan cahaya agama Allah Swt, namun sebagaimana matahari yang rutin terbit setiap pagi, mereka tak akan mampu menghalangi fajar peradaban Islam.


Tinggalkan komentar